Ombak petang
ini masih ombak yang kemarin. Menari dan menghempas mimpi yang sempat ku
tulis diatas pasir.
Tapi bukan aku
jika aku lupa menulis kembali
ketika ombak beranjak ketengah
laut. Hilang. Ombak kembali ketepian. Mimpi yang kubangun bagai sayap yang
hampir patah.
Lima meter. Masih dapat kupandang geraian ombak itu. Dan aku terbiasa memaku diteras yang hampir merapuh. Itu aku, anak yang duduk dengan pandangan hampa menunggu ayah yang tak pasti kembali dari cengkaraman laut. Dan menunggu ibu yang mungkin saja akan pulang. Aku masih terpaku atas kehidupan ini, indah tak bermakna. Hampir patah tapi entah kapan kan jatuh. Lihat juga dapur yang hampir mencium tanah itu. Oh, Aku masih melihat diriku hampir tersungkur tiap kali menghembus bara yang kian meredup.
Pahit. Manis.
Aku tak banyak berkata. Kala senja aku tetap terpaku menanti disini dan terus
begini. Aku hampir menyerah kala itu. Lihatlah diriku yang lusuh yang hanya
mampu menjangkau luas dunia ini sejauh lima meter dari teras rumah. Tapi aku
mampu melihat laut yang hampir tak bertepi.
“Jang, hari
lah sanjo”. Suara
itu alarm yang
tak pernah ku
lupa. Mak Tiram, janda renta itu hampir sama sepertiku hanya
saja ia lebih mampu menjalani hidup lebih baik. Aku menganggap suaminya
salah arah ketika
melaut. Aku selalu beranjak
ketika suara itu berteriak kecil mengarah ke laut dan
selalu kupandangi wajah letih Mak Tiram usai bekerja seharian sebagai tukang
cuci. Setidaknya ketika malam aku tidak merasa sendiri, Mak tiram selalu bertandang
ke teras gubuk
peninggalan orang tua
ku ini untuk
bercerita. “Yang ka dinanti urang yang ka babaliak, yang indak
cukup dikana jo lah”. Hampir setiap malam ia memulai petuahnya dengan kalimat
itu. Entah penyesalan atau penghibur hati, yang ku tahu Mak Tiram mencoba tegar
dan menurutnya aku juga harus begitu.
Aku memandang
diriku yang menangis
ketika nenek menghembuskan
nafas terakhir. Anak usia 6
tahun yang belum mengerti
pahit hidup sebenarnya.
Sekolahpun terpaksa berhenti,
untungnya baca tulis dapat aku kuasai. Ibu yang pamit merantau, ingin mengubah kehidupan
dan masa depanku tinggal harapan manis yang hambar. Ayah yang pamit melaut bernasib sama
dengan suami Mak
Tiram, kompas mereka
menunjukkan arah pulang
yang salah. Sejak itulah Mak
Tiram menjadi guru
kehidupan yang tak
bergelar bagi ku.
Sabar menantiku bangun dari tidur panjang yang melelahkan. “Awak jang,
ko indak bajalan indak tau wak caro
mailak’an batu ketek”.
Aku masih melihat
diriku yang masih
termangu dan menyenderkan dagu
pada lutung yang lusuh. Aku tak ingin bercerita bagaimana kehidupan ini
seakan-akan menghempaskanku pada batu dan memecahkan harapanku. Menyerpih.
Aku masih
memandang, terakhir kali Mak Tiram mendatangiku yang termangu di teras bambu
yang seribu kali hampir kukatakan merapuh ini. Itu aku yang berusia 7 tahun.
“Jang, iko bakal untuak
bisuak, Pailah. Jan
pulang sabalum tarompa
baganti”. Aku hampir
lupa bercerita ingin kemana, Pak Haji Miskin yang tinggal di kota pulang
menjenguk saudaranya dan mengajakku serta ke kota meninggalkan gubuk yang menua
diusia mudaku. Usia muda dan menjadi buruh penimbang gula pasir.
Aku masih
memandang diriku yang letih ditengah unggukan gula yang manis hingga terhampar kembali
mengenang masa kecil
yang singkat itu
dan amat meletihkan.
Tapi setidaknya aku tak pernah lupa untuk bermimpi. Kenapa aku harus
menceritakan kepahitan menimbang gula yang manis yang akan memicu air mata hambar
ini mengalir. Tak perlulah. Bagiku
membayangkan gula yang
memang manis itu
akan lebih baik.
Aku juga kembali memandang gudang
yang menjadi tempat
peraduan letih dan
sepinya kehidupanku. Aku pernah
bermimpi itu adalah rumahku yang penuh akan barang mewah. Meja dan kursi indah diruang tamu,
tempat tidur yang
nyaman dan dapur
yang bersih. Dan
lihatlah jendela belakang menawarkan
keindahan kebun kecilku yang
rindang. Aku buka
mata, sementara bantal, selimut, satu piring, sendok dan gelas plastik
serta lemari kecil masih setia mengisi ruang tempatku bernaung itu.
Apakah aku
terlalu lama meninggalkannya, hingga Mak Tiram tak lagi dapat kutemui. Banyak
cerita yang ingin kubagi dengan beliau. “Tarompa ujang lah baganti Mak Tiram,
Ko tarompa ujang bao’an
untuk Mak Tiram”.
Itulah aku yang
kini benar-benar berdiri
diatas batu yang menahan
hempasan gelombang. Dan
setia mendengar teriakanku
yang terurai angin berhembus. Tarompa yang ku
bawa ternyata tak
bisa dipakai oleh
kaki renta Mak Tiram.
Mak Tiram hanya butuh
sebongkah batu nisan
untuk menuliskan namanya
diatas rumah barunya.
Aku pulang.
By : Meldiya Reza
No comments:
Post a Comment