Friday 7 October 2016

Cerpen - Sayap Yang Hampir Patah

Ombak petang ini masih ombak yang kemarin. Menari dan menghempas mimpi yang sempat  ku  tulis  diatas  pasir.  Tapi  bukan  aku  jika  aku  lupa  menulis  kembali  ketika  ombak beranjak ketengah laut. Hilang. Ombak kembali ketepian. Mimpi yang kubangun bagai sayap yang hampir patah.

Lima  meter.  Masih  dapat  kupandang  geraian  ombak  itu.  Dan  aku  terbiasa  memaku diteras yang hampir merapuh. Itu aku, anak yang duduk dengan pandangan hampa menunggu ayah yang tak pasti kembali dari cengkaraman laut. Dan menunggu ibu yang mungkin saja akan pulang. Aku masih terpaku atas kehidupan ini, indah tak bermakna. Hampir patah tapi entah kapan kan jatuh. Lihat juga dapur yang hampir mencium tanah itu. Oh, Aku masih melihat diriku hampir tersungkur tiap kali menghembus bara yang kian meredup.
Pahit. Manis. Aku tak banyak berkata. Kala senja aku tetap terpaku menanti disini dan terus begini. Aku hampir menyerah kala itu. Lihatlah diriku yang lusuh yang hanya mampu menjangkau luas dunia ini sejauh lima meter dari teras rumah. Tapi aku mampu melihat laut yang hampir tak bertepi.
“Jang,  hari  lah  sanjo”.  Suara  itu  alarm  yang  tak  pernah  ku  lupa.  Mak Tiram,  janda renta itu hampir sama sepertiku hanya saja ia lebih mampu menjalani hidup lebih baik. Aku menganggap  suaminya  salah  arah  ketika  melaut.  Aku selalu  beranjak  ketika  suara  itu berteriak kecil mengarah ke laut dan selalu kupandangi wajah letih Mak Tiram usai bekerja seharian sebagai tukang cuci. Setidaknya ketika malam aku tidak merasa sendiri, Mak tiram selalu  bertandang  ke  teras  gubuk  peninggalan  orang  tua  ku  ini  untuk  bercerita.  “Yang  ka dinanti urang yang ka babaliak, yang indak cukup dikana jo lah”. Hampir setiap malam ia memulai petuahnya dengan kalimat itu. Entah penyesalan atau penghibur hati, yang ku tahu Mak Tiram mencoba tegar dan menurutnya aku juga harus begitu.
Aku  memandang  diriku  yang  menangis  ketika  nenek  menghembuskan  nafas  terakhir. Anak  usia  6 tahun yang  belum  mengerti  pahit  hidup  sebenarnya.  Sekolahpun  terpaksa berhenti, untungnya baca tulis dapat aku kuasai. Ibu yang pamit merantau, ingin mengubah kehidupan dan masa depanku tinggal harapan manis yang hambar. Ayah yang pamit melaut bernasib  sama  dengan  suami  Mak  Tiram,  kompas  mereka  menunjukkan  arah  pulang  yang salah. Sejak  itulah  Mak  Tiram  menjadi  guru  kehidupan  yang  tak  bergelar  bagi  ku.  Sabar menantiku bangun dari tidur panjang yang melelahkan. “Awak jang, ko indak bajalan indak tau  wak  caro  mailak’an  batu  ketek”.  Aku  masih  melihat  diriku  yang  masih  termangu  dan menyenderkan dagu pada lutung yang lusuh. Aku tak ingin bercerita bagaimana kehidupan ini seakan-akan menghempaskanku pada batu dan memecahkan harapanku. Menyerpih.
Aku masih memandang, terakhir kali Mak Tiram mendatangiku yang termangu di teras bambu yang seribu kali hampir kukatakan merapuh ini. Itu aku yang berusia 7 tahun. “Jang, iko  bakal  untuak  bisuak,  Pailah.  Jan  pulang  sabalum  tarompa  baganti”.  Aku  hampir  lupa bercerita ingin kemana, Pak Haji Miskin yang tinggal di kota pulang menjenguk saudaranya dan mengajakku serta ke kota meninggalkan gubuk yang menua diusia mudaku. Usia muda dan menjadi buruh penimbang gula pasir.
Aku masih memandang diriku yang letih ditengah unggukan gula  yang manis hingga terhampar  kembali  mengenang  masa  kecil  yang  singkat  itu  dan  amat  meletihkan.  Tapi setidaknya aku tak pernah lupa untuk bermimpi. Kenapa aku harus menceritakan kepahitan menimbang gula yang manis yang akan memicu air mata hambar ini mengalir. Tak perlulah. Bagiku  membayangkan  gula  yang  memang  manis  itu  akan  lebih  baik.  Aku  juga  kembali memandang  gudang  yang  menjadi  tempat  peraduan  letih  dan  sepinya kehidupanku.  Aku pernah bermimpi itu adalah rumahku yang penuh akan barang mewah. Meja dan kursi indah diruang  tamu,  tempat  tidur  yang  nyaman  dan  dapur  yang  bersih.  Dan  lihatlah  jendela belakang  menawarkan  keindahan  kebun  kecilku yang  rindang.  Aku  buka  mata, sementara bantal, selimut, satu piring, sendok dan gelas plastik serta lemari kecil masih setia mengisi ruang tempatku bernaung itu.
Apakah aku terlalu lama meninggalkannya, hingga Mak Tiram tak lagi dapat kutemui. Banyak cerita yang ingin kubagi dengan beliau. “Tarompa ujang lah baganti Mak Tiram, Ko tarompa  ujang  bao’an  untuk  Mak  Tiram”.  Itulah  aku  yang  kini  benar-benar  berdiri  diatas batu  yang  menahan  hempasan  gelombang.  Dan  setia  mendengar  teriakanku  yang  terurai angin  berhembus. Tarompa yang  ku  bawa  ternyata  tak  bisa  dipakai  oleh  kaki  renta  Mak Tiram.  Mak  Tiram hanya  butuh  sebongkah  batu  nisan  untuk  menuliskan  namanya  diatas rumah barunya.

Aku pulang.


By : Meldiya Reza

No comments:

Post a Comment