Fajar
baru saja menyingsing, sesuai kesepakatan kaum kerabat pagi ini kami akan
mencari keberadaan abak. Kurang lebih dua puluh orang yang ikut serta yang
didominasi kaum bapak dan bujang-bujang. Sungguh, tak habis pikir saya kemana
abak? Ada yang aneh dengan kehilangan tiba-tiba ini.
Seluruh
tempat yang mungkin menjadi tempat keberadaan abak kami jarah. Tanpa mengenal
letih. Sepanjang jalan bahkan mataku tak lengah barang sedetik. Tiap langkah
terucap doa “Tuhan tunjukkan keberadaan abak”. Ah, amak. Pasti beliau sangat
cemas. Bagaimana tidak? Sewaktu melepas kami pergi kulihat air mata beliau seka
dengan cepat harapan mencuat dari sudut matanya.
Sawah gunung garingging.
Kosong.
Ladang rimbo
panjang. Kosong.
Panakia’an. Kosong.
Panggorean. Kosong.
Kampung tetangga. Kosong.
Mendaki
gunung, menuruni tebing terjal, menapaki basahnya rimba dengan pacet-pacet yang
amat menjengkelkan. Tak kami hiraukan. Tak terasa kami sudah menghabiskan
seharian penuh menyisiri tempat yang mungkin abak datangi. Kawan, hasilnya
nihil. Tak ada tanda-tanda.
Tik
tak tik tak.
Jam
tanganku berdentang, mengapa cepat sekali waktu ini berlari. 16.05 WIB. Kami
berhenti sejenak untuk mengisi energi dengan perbekalan seadanya. Puluhan kilo
kami menjauh dari desa permaiku. Kami menyangga pada batang pohon besar untuk
melepas penat dan menyantap.
“Jang, kalo lah sampai magrib ndak jo basobok
baa aka lai jang.” Tanya Mak Deman memecah keheningan. “Oh Tuhan, apakah
ini isyarat keputusasaan” Gumamku.
“Iyo jang, baa aka wak lai” Semua
menambahi.
“Ujang, berharap abak basobak mak,
bia jo jasad mak” Jawabku singkat dengan air mata yang
mengintip dipelupuk. Tak tertelan butiran nasi ini rasanya.
Selesai
melepas penat dan mengisi energi kami putuskan mencari sumber air untuk berwudhu
menunaikan shalat ashar. Shalat kedua kalinya di alam bebas dengan dzikir yang
senantiasa memohon petunjuk sang Maha Pemberi Petunjuk. Mak Unim sebagai imam,
beliau adalah salah satu mamak yang disegani di kampung. Beliau orang yang
taat. Selalu ku ingat perkataan beliau menjelang subuh ketika kami selesai
shalat bersama.
“Jang,
abakmu kini ndak bisa jo kasat mata wak mancaliak”
“Indak
lah di alam nan sarupo jo alam awak beliau bajalan”. Bisik
Mak Unim.
“Apo
makasuik mamak?” Sahutku penasaran.
“Beliau
ndak jangkauan awak kini, kalo yang mambawok beliau lah melapehan untuak pai
barulah beliau bisa awak caliak jo kasat mata”. Jelas
singkat Mak Unim.
“Astaqfirullah...”
Gumamku,
semakin cemas relung batin ini.
“Kito badoa sajo ka Tuhan jang, awak harus picayo di dunia ko ado alam
nyato ado pulo alam gaib” Tutup Mak Unim bijak. Hatiku serasa bergemuruh.
Ya,
desaku yang masih jauh dari hiruk pikuk modern masih menyimpan sejuta misteri.
Bahkan seluruh warga mempercayai makhluk gaib yang menghuni satu-satu tempat.
Jikalau tetua memberi pituah jangan mendatangi suatu tempat itu pada jam-jam
tertentu itu artinya berbahaya. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa
melihat keberadaan mereka. Seperti orang-orang yang taat beragama dan memiliki
ilmu kebatinan.
Ditengah
perjalanan kami terhenti. Ini tujuan akhir kami. Gunung larangan. Tak sembarang
orang yang berani kesana. Seperti kusebutkan tadi ini salah satu tempat
larangan.
“Sanak, kasadonyo. Iko tujuan akhir
kito. Jan sampai tapisah jo rombongan. Selalu berdzikir kepada Allah SWT. Kito
bajalan diwakatu nan talarang. Wakatu hampia magrib” Sorak
Mak Deman.
“Batua
nan dikecekan Mak Deman, tolong senantiasa mamohon perlindungan kapado Allah.
Sapangatahuan kito basamo tampek nan ka wak tuju bukan sumbarang tampek” Mak
Unim menimpali.
“InsyaAllah
mak” kami serentak mengiyakan.
“Mak,
baa kok yakin bana mamak untuak manampuah gunuang tu..” Da
Sabri menyampaikan ketidak yakinannya.
“Sanak,
ado nan indak tasampaian ka sanak sado alahnyo. Jujur ambo takuik sanak cameh
makonyo ambo tahan. Iko kecek bini ambo tadi malam. Tapi ambo indak yakin,
indak mungkin rasonyo”. Sambung Da Ulung beropini.
Kami
semua terperangah. “Astaqfirullah abak”. Batin ku hancur, tubuh ini rasa tak bertulang.
Akupun hampir rebah jikalau saja Da Ical tak menyambut badanku. “Ya Allah,
bagaimana jika amak mendengar cerita ini” Aku membatin.
Bersambung...
Oleh
Meldiya
Reza
No comments:
Post a Comment