Aku Terdampar
Aku seperti
terdampar. Tapi apa benar-benar aku terdampar?. Kau suguhkan aku seluruh pesona
surga. Bahkan masih terasa keindahan yang merayap. Bagaimana tidak? Kamu pernah
barang sejenak mendamparkan diri di satu pulau dengan sejuta pesona surga?
Cobalah bayang kan.
Mataku yang tak
terpejam sejenakpun menyaksikan keindahan gundukan tanah yang menghijau ria.
Deburan ombak yang kian menambah gemuruh hati. Air yang membiru bak permadani
yang terbentang seluas mata memandang. Angin sepoi yang berhembus serasa
membawa terbang seluruh sesak di dada.Oh aku lupa binatang laut yang kian
menyemarakan. Kepiting. Umang-umang. “Aaa kerang-kerangan”. Rumput laut yang
melambai-lambai tak seberapa dalam didasar. Lalu karang laut dengan ukiran luar
biasanya. Apakah aku saja yang terhipnotis? Apakah aku terlalu bodoh dengan
sajian keindahan ini? Aku terbuai. Benar-benar terbuai.
Seakan-akan kau
berbisik.
“Mana ada dusta
yang kusajikan, bukankah benar-benar dengan ragamu kau nikmati semua ini?”...
Disini terlalu
nyaman untuk bicara kegundahan. Terlalu asing untuk mengecap sesuatu yang
pahit. Aku hanya tertegun. Bahkan raga tak tahu bagaimana mengutarakan luar
biasa dan nikmatnya keindahan ini? Apakah mampu terbayar? Apakah ini semata
dapat terbilang dengan uang? Tentu saja tidak. Karna aku terhipnotis keindahan
yang kau sajikan. Yang sebenarnya aku kau damparkan untuk kau tinggalkan.
“Ahh, bagaimana
mungkin terbesit kata-kata itu? Aku didamparkan?”. Gumamku setengah sadar.
“Maaf, ada hal
yang harus ku kejar lebih dulu”. Katanya santai.
“Apa?” Tanyaku
singkat saja.
“Apakah kau
belum mengerti, aku harus pergi. Yakinlah suatu saat aku akan kembali”
Janjinya.
“Kemana? Aku
harus tinggal?” Aku semakin penasaran.
“Ya, ku rasa
kau pasti mengerti. Ini demi kebaikan kita, masa depan kita” Tutupnya.
Seingatku aku
hanya menganggukan, berharap suatu saat ada pesona surga lagi yang disajikan
ketika ia kembali. Apa ku tak sesak? Jelas. Apa aku takut ia tak kembali?
Tentu. Lalu?? Waktu itu aku hanya yakin janjinya “Ia akan kembali..”.
Gadis desa
dengan sejuta kepolosan yang dibalut cinta dan keyakinan semudah membalikkan
telapak tangan melepas kumbang yang ia rasa sudah menjadi miliknya. “Urang minang biaso marantau, saba jo unang,
pastinyo ka babaliak...” hibur salah seorang sahabatku. Aku percaya. Ahh,
hidup ku hanya dihiasi “mempercayai”. Ini mungkin penyakit.
Sudah ku
katakan bukan aku didamparkan, aku terkecoh dengan pesona. Yang ternyata aku
ditinggal dalam kata perpisahan yang ia teriakkan di balik deburan ombak. Mana
mungkin kan terdengar sembari aku menikmati hempasan ombak dibibir pantai. Ia
berteriak penuh makna.
“ Cukup ke
indahan ini yang ku beri untukmu, tapi bukan hatiku” teriaknya.
Yang ku dengar
hanya deburan ombak yang menghempas tepian. Ku kira ia berkata sesuatu yang
manis dengan duduk santai bernaung dibawah pohon yang rindang. Kiranya salam
perpisahan, aku tak sadar ada genggam tangan yang akan menyeretnya dibalik
pohon dan ketika ku lengah mereka berlari jauh mengemudikan kapal yang ia bawa
bersama ku sebelumnya.
Hidup ini
sungguh tak adil, apakah aku mengenal orang yang salah atau kesempatan yang
datang yang benar-benar salah? Aku mematung saat kulihat ada sebuket bunga dan
undangan yang tersaji diruang tamu rumah gadangku saat itu. Dari jauh sudah
jelas ku lihat nama yang tertera dibalik kartu ucapan. Kartu ucapan? Bukannya
sudah jelas ini undangan??? Tapi mengapa ada bunga, sepertinya uda paham betul karakter wanita. Gumamku
sebelum memastikan. Apakah ia pulang? Siapa yang mengantar, kado indah ini?.
Aku mendekat, 15 cm dari kado yang masih tergeletak indah dan belum terjamah.
Bersambung..
Oleh
Meldiya
Reza
No comments:
Post a Comment