Monday 10 October 2016

Cerpen - Aku Terdampar

Aku Terdampar

Aku seperti terdampar. Tapi apa benar-benar aku terdampar?. Kau suguhkan aku seluruh pesona surga. Bahkan masih terasa keindahan yang merayap. Bagaimana tidak? Kamu pernah barang sejenak mendamparkan diri di satu pulau dengan sejuta pesona surga? Cobalah bayang kan.
Mataku yang tak terpejam sejenakpun menyaksikan keindahan gundukan tanah yang menghijau ria. Deburan ombak yang kian menambah gemuruh hati. Air yang membiru bak permadani yang terbentang seluas mata memandang. Angin sepoi yang berhembus serasa membawa terbang seluruh sesak di dada.Oh aku lupa binatang laut yang kian menyemarakan. Kepiting. Umang-umang. “Aaa kerang-kerangan”. Rumput laut yang melambai-lambai tak seberapa dalam didasar. Lalu karang laut dengan ukiran luar biasanya. Apakah aku saja yang terhipnotis? Apakah aku terlalu bodoh dengan sajian keindahan ini? Aku terbuai. Benar-benar terbuai.
Seakan-akan kau berbisik.


“Mana ada dusta yang kusajikan, bukankah benar-benar dengan ragamu kau nikmati semua ini?”...
Disini terlalu nyaman untuk bicara kegundahan. Terlalu asing untuk mengecap sesuatu yang pahit. Aku hanya tertegun. Bahkan raga tak tahu bagaimana mengutarakan luar biasa dan nikmatnya keindahan ini? Apakah mampu terbayar? Apakah ini semata dapat terbilang dengan uang? Tentu saja tidak. Karna aku terhipnotis keindahan yang kau sajikan. Yang sebenarnya aku kau damparkan untuk kau tinggalkan.
“Ahh, bagaimana mungkin terbesit kata-kata itu? Aku didamparkan?”. Gumamku setengah sadar.
“Maaf, ada hal yang harus ku kejar lebih dulu”. Katanya santai.
“Apa?” Tanyaku singkat saja.
“Apakah kau belum mengerti, aku harus pergi. Yakinlah suatu saat aku akan kembali” Janjinya.
“Kemana? Aku harus tinggal?” Aku semakin penasaran.
“Ya, ku rasa kau pasti mengerti. Ini demi kebaikan kita, masa depan kita” Tutupnya.
Seingatku aku hanya menganggukan, berharap suatu saat ada pesona surga lagi yang disajikan ketika ia kembali. Apa ku tak sesak? Jelas. Apa aku takut ia tak kembali? Tentu. Lalu?? Waktu itu aku hanya yakin janjinya “Ia akan kembali..”.
Gadis desa dengan sejuta kepolosan yang dibalut cinta dan keyakinan semudah membalikkan telapak tangan melepas kumbang yang ia rasa sudah menjadi miliknya. “Urang minang biaso marantau, saba jo unang, pastinyo ka babaliak...” hibur salah seorang sahabatku. Aku percaya. Ahh, hidup ku hanya dihiasi “mempercayai”. Ini mungkin penyakit.
Sudah ku katakan bukan aku didamparkan, aku terkecoh dengan pesona. Yang ternyata aku ditinggal dalam kata perpisahan yang ia teriakkan di balik deburan ombak. Mana mungkin kan terdengar sembari aku menikmati hempasan ombak dibibir pantai. Ia berteriak penuh makna.
“ Cukup ke indahan ini yang ku beri untukmu, tapi bukan hatiku” teriaknya.
Yang ku dengar hanya deburan ombak yang menghempas tepian. Ku kira ia berkata sesuatu yang manis dengan duduk santai bernaung dibawah pohon yang rindang. Kiranya salam perpisahan, aku tak sadar ada genggam tangan yang akan menyeretnya dibalik pohon dan ketika ku lengah mereka berlari jauh mengemudikan kapal yang ia bawa bersama ku sebelumnya.
Hidup ini sungguh tak adil, apakah aku mengenal orang yang salah atau kesempatan yang datang yang benar-benar salah? Aku mematung saat kulihat ada sebuket bunga dan undangan yang tersaji diruang tamu rumah gadangku saat itu. Dari jauh sudah jelas ku lihat nama yang tertera dibalik kartu ucapan. Kartu ucapan? Bukannya sudah jelas ini undangan??? Tapi mengapa ada bunga, sepertinya uda paham betul karakter wanita. Gumamku sebelum memastikan. Apakah ia pulang? Siapa yang mengantar, kado indah ini?.
Aku mendekat, 15 cm dari kado yang masih tergeletak indah dan belum terjamah.

Bersambung..
Oleh
Meldiya Reza




No comments:

Post a Comment