Friday 7 October 2016

Cerpen - Sapucuak Surek


                Puluhan kilo dari riuhnya perkotaan, kusandarkan letih di barung-barung reot itu. Butuh waktu yang panjang untuk menikmati keheningan yang menenangkan ini. Tertatih pikiranku menerawang kenangan yang mematikan. Jelas ku lihat senyuman letih abak di pematang sawah. “Yuang, iduik’an api di tungku tu dulu. Amak ka maabuih ubi stek”.
Ya, hanya itu yang dapat kulakukan kala itu, menghidupkan api ditungku untuk merebus ubi yang menjadi tugas kenegaraan ibu. Ubi. Aku bahkan tak bisa lupa aromanya meski kini terlempar jauh diperkotaan mengadu nasib.
                Hampir seminggu sudah badan ku bawa bernostalgia ke kampung halaman. Bukan tanpa sebab, bukan juga dalam rangka rekreasi. Ini semua bermula dari sore itu, ku ingat betul Rabu 28 Oktober 2016. Telpon gengam ku berdering.
“Assalamualaikum bang... bang”.
“Waalaikumsalam fatma..”.
Sepintas kudengar riuh yang disusul isak tangis. Yang menelpon ternyata si upik adikku yang bungsu, Fatma. Darah sudah mulai berdesir. Ada apa gerangan? Tiba-tiba kuingat gelas teh yang jatuh dari tangan ku tadi pagi, apakah kabar buruk?. Namun, ku tepis pikiran meracau itu.
Ado apo fatma, baa kok tadanga heboh, ado apo??”
Aku mulai cemas.
Abak, bang.. abak...”.
Fatma menangis. Fatma bercerita panjang lebar dengan isak tangisnya. Akupun tak punya kata untuk diucapkan. Kudengar suara tut..tut.. dari seberang pertanda sambungan telepon telah berakhir. Sontak saja aku berlari ke ruang si boss untuk meminta izin pulang lebih awal. Tak banyak ba bi bu, tampaknya si boss keheranan seribu tanya terbayang dikeningnya yang menua. Aku abaikan.
Butuh waktu 7 jam perjalanan untuk sampai di pamatak tangga rumahku, dan jalan panjang ini terasa amat menyiksaku. Terus kubayangkan wajah tua abak yang ramah dan bijak. Tak banyak yang akan kuceritakan diperjalanan ini kawan, karena semua seperti habis terbawa angin dan kabar yang kuterima. Aku hanya menatap kosong punggung kursi didepanku. Sambil sesekali menyeka air mata yang turut mengalir deras.
Pukul 21.00 WIB aku tiba dirumah yang amat sederhana buah karya abak, yang kini entah dimana rimbanya. Badan letih tak kuhiraukan, seakan-akan aku manusia hero yang memiliki miliaran energi untuk bangkit dan bertarung tanpa lelah. Ruang tamu kecilku sudah dipadati sanak keluarga. Sepintas aku menyapa mereka dalam kebisuan. Itu Mak Deman, Mak Unim, Tek Saidah, Tek Nani. Itu saja yang sempat ku beri salam pandang. Aku menghamburkan langkah menuju sudut ruang tempat amak bersandar. Kuraih tangan kerutnya, lalu kucium. Tangan lemah itu seperti tak bertulang, sungguh beliau telah merenta. Ku lempar pandanganku ke setiap sudut tak kutemukan sosok abak. Kemana beliau, mengapa semalam ini beliau belum pulang? Biasanya beliau yang menyambutku ditangga sambil melempar senyum dan salam sapanya “Yuang,,, baa kok batambah buruak jo salamo dirantau” celetukan itu membayang. Tangisku pun pecah di pelukan amak.
Puas bertangis-tangisan, aku beranjak. Kewajiban tetap suatu kewajiban bahkan bagiku ini kebutuhan.
Mak, jang alun sholat isya lai mak...
Amak memutar kepala ke arah jam dinding made in China yang sudah memudar bingkainya. Detak jam menunjukkan 23.00 WIB. Panjang lebar amak bercerita hingga waktu merayap tinggi tanpa tersadari.
Pailah bauduak jang, sholat. Jan lupo badoa ka Tuhan. Semoga abakmu tetap dalam linduangannyo”.
Anggukan kepala kuberikan pada amak, teriris rasanya batin melihat tatapan kosong amak. Mata memerah dan badan lesu karena menahan letih dan kegundahan tak berujung. Akhirnya kegundahan dan keletihan membawa kami seruangan itu terlelap tidur dalam posisi yang tak sempurna. Bagaimana bisa sempurna, pintu saja tak tertutup rapat. Tirai jendela pun dibiarkan menggantung. Niniak-mamak semua terlelap diatas kursi yang mereka duduki. Sementara sanak keluarga yang lain terlelap dengan sandaran dinding batu dirumah kecilku.
Aku??? Ya aku memutuskan duduk disudut pintu masuk, niatnya aku tak ingin tidur. Aku ingin menyambut abak yang semoga saja tiba-tiba pulang.
Yuang,,.....” lirih terdengar suara renta itu.
Abak......” sambutku histeris. “Kama abak, jam 3 pagi baru pulang ka rumah. Kami lah cameh sadonyo bak..”. Sambil menggapai tangan beliau dalam dekapan gelap malam.
Braaaakkk. Buyar.
Aku terbangun dengan air mata yang mengalir. Oh Tuhan aku bermimipi. Ternyata si manis usil menjatuhkan panci di dapur. Malam semakin larut karena detak jam sudah melewati angka 2. Kemana abak, tak jua kembali?
Tik Tak Tik Tak....
Bersambung ....
Oleh,
Meldiya Reza





No comments:

Post a Comment