SAPUCUAK
SUREK – END
Sore
hari ketika warga sekampung kehilangan abak, Mak Minah istri Da Ulung bertemu
warga kampung Parindam yang kebetulan lewat dari tepian sawahnya. Kebetulan
kawan lama, panjang lebar mereka bercerita hingga ujung cerita Mak Minah diberi
tahu bahwa sekitar jam 12 siang ada seseorang yang melintasi sungai menuju ke
gurung terlarang. Ciri-cirinya persis seperti ciri-ciri abak. Mak Minah agaknya
tak percaya.
“Lai ndak salah caliak, tek...” Mak
Minah memastikan.
“Indak Minah, batigo urang kami nan
mancaliaknyo. Heran kami apo paralu beliau mandaki kagunuang nan talarang tu
jam 12 tapek tu” Antusias kawan karib Mak Minah
bercerita.
Gelisah
mendera, cerita Da Ulung kian membuatku was-was. Butuh waktu 30 menit untuk
mencapai lereng gunung, karena kami harus melintasi sungai berarus dan
pesawahan warga desa. Kami tetap dalam satu tim, tak ada satupun yang dibiarkan
terpisah. Dzikir selalu kami panjatkan semoga kami selamat dan abak segera
ditemukan.
Waktu
benar-benar merayap sangat cepat. 4 jam berlalu bagai 4 menit. Tak terasa waktu
hampir menunjukkan jam 21.00 WIB. Tapi tak ada juga tanda-tanda keberadaan
abak. Seluruh sisi gunung kami sisir, hampir tak sesentipun kami lewati. Gunung
terang benerang oleh sinar senter dan obor yang kami bawa. Hatiku benar-benar
remuk. Dimana abak sebenarnya?
Semua
seakan diambang keputusasaan. Ini putaran terakhir kami mengelilingi gunung,
jika tak jua bersua maka tangan kosong akan kami bawa pulang.
Tiba-tiba
saja...
“Astagfirullah....” Teriak
Da Supri histeris.
Kami
semua menuju arah senter Da Supri yang seakan tak percaya tampak beberapa kali
mengusap matanya. Ya Da Supri menemukan abak. Abak yang sudah tak bernyawa,
berlumur darah. Aku tak bisa berkata-kata. Diam. Rasa tak yakin masih menaungi.
Ahh,
sungguh kenangan menyakitkan itu makin berembus lirih. Aku masih terpaku di
barung-barung rewot. Tiba-tiba ku lihat sebuah buku yang tertinggal.
“Si fatma ko, babalian buku
batinggaan di sawah. Keceknyo padi ko yang ka manulih agaknyo” gumamku
melihat buku usang yang tergeletak disudut. Akhirnya penasaran juga aku pada
buku itu. Perlahan ku geser tempat dudukku, lalu ku gapai. Halaman pertama
tampak coretan-coretan hitungan matematika tulis tangan fatima. Aku tersenyum
getir. Angin yang berhembus membuat halaman-halaman buku yang ku pegang
berbalik seirama sentuhan angin. Aku terbelalak, bukankah ini tulis tangan
abak??
Ya,
selembar tulis tangan abak. Ku baca perlahan. Terheran-heran.
“Tuhan, kok sabana mimpi ambo ko,
sia bana nan ka ambo tolong di gunuang tu”.. Tulis abak.
Ya
Tuhan, terjawab sudah seribu tanya kepergian abak. Dalam secarik suratnya abak
bercerita sudah 3 kali berturut-turut bermimpi melihat seekor binatang buas
merintih menahan kesakitan di lereng gunung terlarang. Binatang itu datang
dalam mimpinya dan meminta pertolongan. Dengan pikir panjang dan tekad yang
bulat maka abak memutuskan untuk berangkat mendaki lereng gunung terlarang pada
hari ia dikabarkan menghilang. Aku menangis sejadi-jadinya. Rasa tak percaya
makin membubung.
Allahuakbar...
Allahuakbar...
Sontak
aku terbangun, ku seka pipi terasa air mata hangat mengalir. “Astagfirullah, ternyata semua hanya mimpi”. Fajar
merayap, kumandang adzan benar-benar menjadi jembatan untukku keluar dari mimpi
terkutuk itu. Ku lihat jam weker waktu menunjukkan 04.45 WIB. Dengan nada
gelisah ku ambil handphone.
Tuuutt
Tuuut...
“Assalamualaikum..”
sahut dari seberang.
“Waalaikum
salam, abak?” sahutku memastikan. Aku hapal betul itu suara abak, Ya Tuhan
benar tadi aku hanya bermimpi.
“Baa kok, menelpon sasubuah ko jang?” tanya
abak agak sedikit heran.
“Jang mimpi buruak pak..” jawab
ku. Kurang lebih 10 menit ku menceritakan mimpi terburukku kepada abak. Abak
menjawab bijak “Itu mangkonyo kok ka
lalok, jan lupo badoa. Jan tinggaan shalat. Itu yang ka manjago awak diateh
dunia ko jang”.. Tutup abak.
Adzan
selesai dikumandangkan, kami putuskan mengakhiri percakapan kami. Abakpun
nampaknya baik-baik saja gumamku. Kami menuju sajadah masing-masing berharap
doa kami sama-sama terhantar dengan baik subuh itu.
Selesai
shalat subuh, aku menerka-nerka apa gerangan yang ku lakukan kemaren siang,
hingga bermimpi seburuk itu. Setelah lama berpikir akupun mengingatnya.
“Ohh, iko gara-gara Mak Udin ko, carito yang
indak-indak di kantua patang, bacarito mistis lho beliau, tabaok ka mimpi
jadinyo kan.”. Gumamku.
Aku
bergegas, waktu kian merayap cepat. Jam dinas telah menungguku.
End.
Oleh
Meldiya
Reza
Happy Reading Teman-Teman, Jangan lupa komen ya... ^_^